Obituari

Bukan kematian Lee Kuan Yew. Tapi orang ini tidak kalah penting bagi seisi penghuni kantor Velbak. Kami memanggilnya Babe genset. Saya tidak tahu nama aslinya M. Arsad sampai tiba di pusaranya siang itu, 23 Maret 2015.

Sejak pagi, rombongan melayat Babe berkumpul di lobi. Kami bertukar cerita mulai dari kronologi Babe jatuh di kamar mandi sampai kenangan masing-masing bersama Babe.

Saya ingat terakhir kali jalan bareng Babe sepekan lalu, ketika keluar dari Halte Transjakarta Kebayoran Lama. Waktu itu Babe baru beli makan siang di warung seberang halte. Saya sengaja tidak langsung menyapa Babe. Saya memilih iseng jalan berjingkat di belakangnya lalu tiba-tiba mengagetkan. Berhasil, hehe.. Babe senyum-senyum saja, karena memang seperti itulah komunikasi kami biasanya.

Bertemu Babe tidak bisa mempertahankan muka manyun. Menyapa Babe di lobi berarti menyunggingkan senyum. Sebuah “sial” bagi pencemberut seperti saya. Tapi itu sekaligus terapi yang mujarab karena senyum seringkali bertahan beberapa menit berikutnya.

Interaksi saya dengan Babe mungkin tidak sesering penghuni Velbak lain. Saya bukan anak gaul yang sering nongkrong di warung Ibu, pos satpam, ataupun pintu depan kantor. Tapi memang kecil kemungkinan melewatkan pertemuan dengan Babe kalau piket malam atau memilih berada di kantor sampai malam.

Kalau sudah begitu, Babe menemani saya menyusuri area parkir kantor sampai jalan besar. Meski bukan satpam, Babe yang menunggui sampai angkot D01 berhenti di depan saya. Babe pun menepuk pintu angkot dan memberi isyarat pada sopir. Seolah meminta sopir mengantar saya dengan selamat.

Semua kenangan dengan Babe langsung menyergap ketika saya sampai di makamnya. Menertawakan acara hiburan televisi bersama di lobi, bertukar komentar tentang talkshow politik, nonton film action jadul, berbagi kue pernikahan, sampai sekadar candaan kecil.

Saya tidak pernah tahu tempat Babe tidur selama di kantor. Kata Gendar si resepsionis, Babe tidur di kursi lobi. Saya tidak percaya. Tapi mendengar cerita istri dan anaknya bahwa Babe jarang pulang, bisa jadi itu benar. “Pulangnya 2-3 jam, terus ke kantor lagi,” kata putri kedua Babe ketika kami berkunjung ke rumahnya sepulang dari makam.

Sepertinya memang tidak ada yang menggantikan Babe mengoperasikan genset milik Pak Gunadi, bosnya. Putri Babe lanjut bercerita betapa lamanya Babe menjaga genset. Semua dimulai dari menjadi pesuruh Pak Gunadi. Babe kemudian dipercaya mengoperasikan genset di kantor penyewa, Tempo salah satunya. “Di tempat lain Babe paling cuma 1-2 tahun. Babe paling lama di Tempo, 14 tahun,” kata Yuli, putri sulung Babe.

Babe dan Tempo sudah jadi keluarga. Dari TH sampai carep baru, Babe kenal. Kata OB, TH beruntung karena masih ngobrol lama dengan Babe pada Jumat malam, sehari sebelum jatuh di kamar mandi. Mungkin karena itu, Babe jadi tidak dekat dengan Pak Gunadi lagi dan tidak dapat santunan. “Yang ketemu saya perwakilan Pak Gunadi, ngasi duit gaji terakhir. Duitnya enggak diamplop, cuma dikepel. Apa bapak saya bukan manusia?” cerita Yuli sambil menghapus linangan air mata, saat kami ngobrol di makam.

Tempo pun tak sempurna memperhatikan Babe. Pertolongan untuk Babe bisa dibilang terlambat. Babe jatuh di kamar mandi depan kantor Sabtu subuh, hari ketika deadline dipercepat, sebagian besar awak kantor libur. Kepalanya terbentur dudukan toilet. Noto, OB, membawa Babe ke kursi lobi depan. Noto yang tadinya akan buang sampah, meninggalkan Babe sebentar. Waktu dia kembali, Babe jatuh lagi dengan posisi bahu bersandar di dinding. Rupanya Babe tadi berusaha berdiri.

Pak Beni, sopir, kemudian mengantar Babe pulang ke rumahnya di Cengkareng. Sewaktu keluarga berusaha memasukkan Babe ke ICU, RSUD Cengkareng minta jaminan uang tunai Rp 70 juta. Yuli pontang-panting mencari Pak Gunadi, juga ke kantor Tempo di malam hujan lebat campur kilat. Nihil. Rupanya Pak Aep dari Bagian Umum Tempo sedang sibuk mengurus pindahan kantor dari Velbak ke Palmerah sehingga tidak lekat memantau hapenya. SMS dari Yuli tidak berbalas.

Kata Yuli, cukup lama berselang, barulah dia dan Pak Aep bersama mengusahakan perawatan untuk Babe. Menurut Pak Aep, MTQ via telepon sudah mengizinkan untuk menjadikan nama Tempo sebagai jaminan rumah sakit. Yuli sempat menunjukkan pada kami rekaman video ketika Babe sedang kesakitan. Sebuah alat bantu pernafasan melekat di hidungnya. Mengenakan kaus kuning, Babe yang tidak sadar diri tampak menggerakkan kepalanya ke kanan ke kiri.

Cerita selanjutnya, ternyata sudah sampai di hari itu, Senin lepas subuh. “Pak, bapak saya sudah enggak ada,” pesan Yuli kepada Pak Aep. Babe sudah pergi. Meski sempat mengungkapkan kekecewaan, Yuli mengaku sudah mengikhlaskan Babe bersama proses yang dia lalui. Tinggal doa dan permohonan mengingatkan kalau-kalau Babe punya utang.

Setelah kepergian Babe, saya baru tahu kalau ternyata Babe tidak akan ikut kami ke Palmerah. Kantor Palmerah sudah punya genset sendiri, tidak perlu sewa. Mungkin juga ini di balik terus tertundanya perpindahan kantor kami, supaya Babe bisa terus bersama kami sampai akhir usianya. Mungkin.

Selamat istirahat Babe. You made beyond a genset operator. Semoga Babe sedang tersenyum di tempat yang terang, jauh lebih terang dari lampu-lampu yang dinyalakan dengan genset Babe.

One Comment Add yours

  1. Dini Suryani says:

    😥 #Humans of Jakarta.

    Like

Leave a comment