Catatan yang belum selesai

Hanya dua lampu sorot dinyalakan di ruang VOC, Universitas Amsterdam sore itu, Senin 8 Mei 2023, menerangi Rachmi Dyah Larasati, Profesor Kajian Gender, Perempuan dan Seksualitas Universitas Minnesota yang sedang menari diiringi lantunan tembang berbahasa Jawa. Di belakangnya, sebuah proyektor menampilkan foto dua perempuan menangis diikuti dua lelaki berseragam yang mengacungkan senjata. Penampilan itu bagian dari diskusi buku, tari dan interpretasi celo terhadap karya Larasati, The dance that makes you vanish: Cultural reconstruction in post-genocide Indonesia.

Di tengah diskusi, Larasati membandingkan tari asal Kamboja dan Indonesia berbekal pengalamannya menjadi anggota misi budaya di dua negara itu. Ketika memperagakan tari dari Kamboja, Larasati menari dengan gerakan tangan tegas dan pelan, cenderung diam. Raut wajahnya datar, cenderung muram, menimbulkan kesan dingin. Para penari Kamboja menurutnya, berhasil menyampaikan pesan duka penyintas pembantaian oleh Pol Pot, diktator di Kamboja, kepada penonton. Sementara, ketika memperagakan tarian dari Indonesia, Larasati menjentikkan jari-jari tangannya dengan lemah gemulai, memasang senyum tipis di bibir dan sorot mata cenderung ceria. Kemudian dia berkata, “Indahnya budaya Jawa,” disambut tawa sinis hadirin. Larasati sedang menyindir tindakan pemerintah Orde Baru yang menjadikan seni tari alat diplomasi budaya Indonesia di mata internasional tapi di sisi lain membantai para penari aslinya dengan justifikasi pemberantasan komunis. Dia menyebut Indonesia belum bisa menghadapi memori kolektif pembantaian 1965.

Setelah bukunya diterbitkan dalam Bahasa Indonesia baru-baru ini, Larasati menyengaja terbang ke Belanda. “Saya ke sini untuk sungkem dengan para eksil,” katanya, mengacu warga negara Indonesia yang telah puluhan tahun bermukim di luar negeri karena antara lain tidak bisa pulang semasa peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Suharto. Larasati mengatakan dia mendedikasikan penampilannya bagi para eksil Indonesia yang tersebar di antara sekira 60 hadirin. Dia sendiri adalah penyintas pemberantasan komunisme. Melalui perjalanan berliku, Larasati muda mendapat status “bersih lingkungan”, sebuah istilah Orba untuk orang yang tidak punya hubungan dengan komunis.

Bagi Larasati, kekuatan seni tari pantas ditakuti penguasa Orba. Menari adalah gerak kesadaran atas keterikatan manusia dengan lingkungannya, berlawanan dengan ambisi negara otoriter. Dia mencontohkan dengan menjejakkan kaki ke lantai, lalu bergerak maju dengan lompatan kecil yang konstan. “Ini menumbuhkan kesadaran ikatan manusia dengan tanah sampai memikirkan di antaranya ketersediaan pangan, hingga panen. Itulah yang dilarang.”

Acara selesai, hari berganti. Saya bertanya ke diri sendiri, kenapa saya jauh dari realita sejarah bangsa? Kenapa kesadaran dan empati terhadap kesalahan bangsa di masa lalu terisolasi dalam pemutaran film, pertunjukan tari dan ruang diskusi?

Leave a comment